Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa
mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian,
agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam
keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher,
dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari
pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya,
disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan
sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya,
karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna
dikuasainya.
Sembari menunggu jasad anjing tanpa
kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama,
ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala
menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang
darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing
badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher
anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga
pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang
manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak
direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama
bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.
Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung
Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan
dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang
berkeliling kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain
tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani
berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya
tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke halaman,
ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun,
akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu.
”Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi,
sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah
hilang selama berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu
adalah anjing berkepala manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing
yang sudah pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah
beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara
lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan yang tersimak
bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat
meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang
dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu.
Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam
keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di
Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai
silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk.
Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang
namanya, dan lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di
tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak
Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia
membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala
macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak.
Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu
gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh
Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini,
orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor
anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal,
dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki.
Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia
bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali
berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota
lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang
kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan
oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran
budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan
ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang
hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai
otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal
menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan.
Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah
diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari
pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak
tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa
Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu sebabnya,
musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau
sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar
menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah
mengembalikannya menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun.”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal
mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk.
Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya
keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing
berkepala manusia.
***
Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai
yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala
manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki
pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya
”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni
rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila
madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau
bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan
genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras
petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam
menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak
induk-semang mereka.
Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah
para pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang
sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung
begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang
benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan
ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan
mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal
telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan
lari terkangkang-kangkang. ”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi
menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan
kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar.
Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang.
”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu kira-kira bunyinya.
Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar mantra itu bagai
sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering paling ganas
sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah
sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia.
Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan
menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia
mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari
Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing
berkepala manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan
Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang
berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk
merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan
mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung
dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon
kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia
berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus-
terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke
bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera
diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan
berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila
mendapatkan wajah asalinya.
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari
terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan
masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. ”Hanya Bapak yang
bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan.
Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya
bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak
bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih
itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap
isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib,
sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa
baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di
kedalaman rimba.
Tanah Baru, 2012
0 komentar:
Posting Komentar